Jakarta - WN,
Beberapa waktu lalu, pelaksana tugas (Plt) Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama, menyesalkan tersingkirnya tiga kader PDIP dari kabinet Jokowi-JK. Mereka adalah Maruarar Sirait, Eva Kusuma Sundari, dan Rieke Diah Pitaloka.
Basuki atau Ahok mengaku tahu persis
kiprah Eva, Rieke, dan Maruarar atau Ara dalam mendukung Jokowi menjadi
presiden. Ia terkejut karena tiga politisi PDIP itu tak jadi menteri.
Lebih dari kecewa, Eva bahkan punya
perasaan jengkel. Apalagi ketika tahu penyebab dirinya gagal masuk kabinet.
"Kalau aku jengkel dan
kecewa, itu manusiawi," kata Eva, akhir pekan lalu. "Aku sudah biasa
dibeginikan, diperlakukan seperti ini dan mengalami seperti ini,"
imbuhnya.
Ketika Jokowi dan Jusuf Kalla
mengutak-atik komposisi kabinet, nama Eva disebut-sebut termasuk kandidat yang
diperhitungkan sebagai menteri sosial. Restu dari Ketua Umum PDIP Megawati
Soekarnoputri pun sudah didapat.
Seperti diberitakan, kader PDIP yang
akan ditunjuk menjadi menteri harus mendapat izin Megawati. "Bu Mega sudah
endorse aku dan sudah tanda tangan," ujarnya.
Eva juga yakin dirinya tak punya
catatan buruk di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Kondisi-kondisi itu membuat Eva yakin
terpilih menjadi menteri. Faktanya, tak ada jatah baju putih untuk Eva.
Rasa percaya diri Eva ada benarnya.
Beberapa saat setelah kabinet dilantik, Eva mendapat informasi bahwa KPK
menyatakan dirinya paling "bersih". "Ada teman yang memberi
tahu, aku sama Mas Pram (Pramono Anung) nilainya paling tinggi. Tapi, aku juga
sudah ketemu dengan internal KPK. Katanya, aku paling bersih," kata Eva.
"Lha wong duitnya saja nggak
ada. Aku paling miskin, aku nggak main saham," ujar perempuan kelahiran
Nganjuk (Jatim), 8 Oktober 1965, itu.
Belakangan, Eva mendapat bocoran
informasi mengapa namanya menghilang dari daftar menteri. Sang informan
mengatakan, Jokowi mencoret namanya setelah memperoleh masukan dari intelijen
yang meragukan nasionalisme Eva.
Pasalnya, Eva bersuamikan Jose
Antonio Amorim Dias yang warga negara Timor Leste, negara yang terbentuk
setelah Provinsi Timor Timur melepaskan diri dari NKRI pada tahun 1999.
"Pak Jokowi ragu-ragu karena
tidak dapat dukungan dari BIN (Badan Intelijen Negara) dan Bais (Badan
Intelijen Strategis) karena aku kawin sama orang luar, orang Timor Leste,"
katanya. Eva menilai informasi yang disampaikan kepada Jokowi tersebut sangat
subjektif.
Eva pun meradang. Jengkel. Kecewa.
"Saat itu aku tahan, aku harus sabar," tuturnya.
Eva tak habis pikir, pernikahannya
dengan Jose Antonio dikaitkan ke nasionalismenya. "Kami menikah ketika dia
masih WNI (warga negara Indonesia). Lha, masa sekarang aku harus cerai,"
tuturnya.
Eva melihat ada ketidakadilan,
apalagi jika dibandingkan Susi Pudjiastuti yang ditunjuk menjadi Menteri
Kelautan dan Perikanan.
Sepengetahuannya, kata Eva, suami Susi adalah Christian von Strombeck, warga negara Belanda. Menteri Luar Negeri (Menlu) pada pemerintahan lalu, Marty Natalagewa, beristrikan, Sranya Bamrungphong, seorang warga negara Thailand.
"Susi sing (yang) suaminya
bule, malah diangkut. Aku sing sampai mati dari awal, malah nggak dipilih.
Ragu-ragu gara-gara nggak dapat dukungan intel-intel itu," kata Eva.
"Suamiku orang Timtim, masa
Indonesia yang terancam. Seharusnya, kalau takut, takut-lah kepada Amerika atau
Arab Saudi yang punya kekuatan hegemoni dunia," ujarnya.
Eva merupakan anggota DPR periode
2004-2009 dan 2009-2014. Pada Juli 2012, ia diadukan ke Badan Kehormatan (BK)
DPR sebuah LSM yang mempermasalahkan perkawinannya dengan Jose Antonio Amorim
Dias, diplomat Republik Timor Leste.
Bagi Eva, kekhawatiran terhadap
nasionalismenya sudah sampai taraf tidak wajar dan berlebihan. "Aku mau ke
BIN. Kalau memang begitu, berarti itu paranoid. Seharusnya Jokowi punya sikap,
tapi mungkin belum berani," katanya.
Seharusnya, menurut Eva, seseorang
diukur dari kinerjanya. Apalagi, di awal meniti karier di DPR, Eva rela
berpisah dari suaminya.
"Selama aku di DPR, aku
full mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan NKRI, termasuk mengurus masalah
PKI. Aku juga urus Ahmadiyah, aku turun sendiri ke lapangan dan nggak ada intel
yang bantu. Setelah semua itu, masa nasionalisme aku masih diragukan,"
katanya.
Eva menegaskan, dirinya kecewa bukan
karena tidak terpilih menjadi menteri, melainkan karena alasan dirinya tidak
layak menjadi menteri.
"Kok aku nggak diperlakukan
secara fair. Kok yang perempuan dipersoalkan, yang laki-laki tidak. Kan itu
rese (menyebalkan-Red). Terhadap saya tidak ditemukan masalah, nggak korupsi.
Tapi malah soal suami yang dipermasalahkan," keluhnya.
Menurut Eva, ada informasi kurang
objektif yang diterima Jokowi ketika menyusun kabinet.
"Yang kurang kerjanya,
tahu-tahu dapat 'bonus' (jadi menteri -Red). Yang awalnya nggak setuju
pencalonan Jokowi jadi capres, tahu-tahu jadi menteri. Yang tadinya jadi penyandang
dana di sana (kubu Prabowo-Hatta-Red), tahu-tahu jadi pejabat. Yah itulah
politik," ucapnya.
Meski kecewa, Eva tidak membangkang
terhadap partai ataupun NKRI. Eva juga mengapresiasi penunjukan Khofifah Indar
Parawansa sebagai menteri sosial. Khofifah merupakan mantan Menteri
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan menjadi juru bicara Jokowi-JK
pada masa Pilpres 2014.
Eva mengakui, Khofifah punya
segudang pengalaman sehingga akan mampu melaksanakan tugas sebagai mensos.
"Aku percaya Khofifah. Jam terbangnya memang sudah tinggi," katanya.
(TRIBUNNEWS.COM)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar