Asal Usul Gelar Haji di Indonesia –
Orang Islam Indonesia pada umumnya jika selesai menunaikan Ibadah Haji, maka sering
di panggil Pak Haji Fulan atau Ibu Hajah Fulanah, bahkan ada sebagian orang
yang dengan sengaja menambahkan gelar Haji di depan namanya untuk penulisan
dalam dokumen atau surat-surat penting dengan berbagai alasan, diantaranya ada
yang mengatakan itu merupakan Syiar, supaya orang tertarik untuk segera
mengikuti menunaikan ibadah haji.
Ada yang beralasan bahwa Ibadah Haji
adalah Ibadah yang besar dan memerlukan biaya besar jadi orang tersebut merasa
rugi kalau namanya tidak memakai gelar Haji/Hajah, atau jaman dulu masih
sedikit orang yang mampu (dalam hal materi) mengeluarkan biaya untuk menunaikan
Ibadah haji, sehingga jarang sekali orang yang bisa melaksanakan haji, maka
jika pada suatu desa atau kampung ada orang Islam yang menunaikan Haji dan di kampungnya
atau desanya hanya dia satu-satunya yang pernah menunaikan Haji, maka jika di
kampung/desa itu di sebutkan Pak Haji (tanpa menyebut nama aslinya) maka
sekampung/sedesa pasti tahu siapalah orang yang di maksud Pak Haji itu.
Gelar atau sebutan haji bagi mereka
yang telah menunaikan ibadah haji, pada awalnya tidak ada dan sebutan haji ini
baru muncul beberapa abad setelah wafatnya Rasulullah saw. Sejarah pemberian
gelar haji dimulai pada tahun 654H, pada saat kalangan tertentu di kota Makkah
bertikai dan pertikian ini menimbulkan kekacauan dan fitnah yang mengganggu
keamanan kota Makkah.
Karena kondisi yang tidak kondusif
tersebut, hubungan kota Makkah dengan dunia luar terputus, ditambah kekacauan
yang terjadi, maka pada tahun itu ibadah haji tidak bisa dilaksanakan sama
sekalai, bahkan oleh penduduk setempat juga tidak. Setahun kemudian setelah
keadaan mulai membaik, ibadah haji dapat dilaksanakan. Tapi bagi mereka yang
berasal dari luar kota Makkah selain mempersiapkan mental, mereka juga membawa senjata
lengkap untuk perlindungan terhadap hal-hal yang tidak diinginkan. Dengan
perengkapan ini para jemaah haji ibaratkan mau berangkat ke medan perang.
Sekembalinya mereka dari ibadah
haji, mereka disambut dengan upacara kebesaran bagaikan menyambut pahlawan yang
pulang dari medan perang. Dengan kemeriahan sambutan dengan tambur dan
seruling, mereka dielu-elukan dengan sebutan “Ya Hajj, Ya Hajj”. Maka berawal
dari situ, setiap orang yang pulang haji diberi gelar “Haji”.
Asal usul Gelar “Haji” di Indonesia
Pada Masa Kerajaan Islam di Nusantara
Dikisahkan bahwa Pemeluk agama Islam
yang pertama kali di tanah Sunda adalah Bratalegawa putra kedua Prabu Guru
Pangandiparamarta Jayadewabrata atau Sang Bunisora penguasa kerajaan Galuh
(1357-1371). Ia menjadi raja menggantikan abangnya, Prabu Maharaja (1350-1357)
yang gugur dalam perang Bubat yaitu peperangan antara Pajajaran dengan
Majapahit.
Bratalegawa memilih hidupnya sebagai
seorang saudagar, ia sering melakukan pelayaran ke Sumatra, Cina, India,
Srilanka, Iran, sampai ke negeri Arab. Ia menikah dengan seorang muslimah dari
Gujarat bernama Farhana binti Muhammad. Melalui pernikahan ini, Bratalegawa
memeluk Islam. Sebagai orang yang pertama kali menunaikan ibadah haji di
kerajaan Galuh, ia dikenal dengan sebutan Haji Purwa (Atja, 1981:47).
Setelah menunaikan ibadah haji, Haji
Purwa beserta istrinya kembali ke kerajaan Galuh di Ciamis pada tahun 1337
Masehi. Di Galuh ia menemui adiknya, Ratu Banawati, untuk bersilaturahmi
sekaligus mengajaknya masuk Islam. Tetapi upayanya itu tidak berhasil. Dari
Galuh, Haji Purwa pergi ke Cirebon Girang untuk mengajak kakaknya, Giridewata
atau Ki Gedeng Kasmaya yang menjadi penguasa kerajaan Cirebon Girang, untuk
memeluk Islam. Namun kakaknya pun menolak.
Naskah kuno selain Carita Parahyangan
yang mengisahkan orang-orang jaman dulu yang telah berhasil menunaikan ibadah
haji adalah Carita Purwaka Caruban Nagari dan naskah-naskah tradisi Cirebon
seperti Wawacan Sunan Gunung Jati, Wawacan Walangsungsang, dan Babad Cirebon.
Dalam naskah-naskah tersebut disebutkan adanya tokoh lain yang pernah
menunaikan ibadah haji yaitu Raden Walangsungsang bersama adiknya Rarasantang.
Keduanya adalah putra Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran, dan pernah berguru agama
Islam kepada Syekh Datuk Kahpi selama tiga tahun di Gunung Amparan Jati
Cirebon.
Setelah cukup berguru ilmu agama
Islam, atas saran Syekh Datuk Kahpi, Walangsungsang bersama adiknya Rarasantang
berangkat ke Mekah -diduga antara tahun 1446-1447 atau satu abad setelah
Bratalegawa- untuk menunaikan ibadah haji dan menambah ilmu agama Islam. Dalam
perjalanan ibadah haji itu, Rarasantang dinikahi oleh Syarif Abdullah, Sultan
Mesir dari Dinasti Fatimiyah (?), dan berputra dua orang yaitu Syarif
Hidayatullah (1448) dan Syarif Arifin (1450). Sebagai seorang haji,
Walangsungsang kemudian berganti nama menjadi Haji Abdullah Iman, sementara
Rarasantang berganti nama menjadi Hajjah Syarifah Mudaim.
Sementara dari kesultanan Banten,
jemaah haji yang dikirim pertama kali adalah utusan Sultan Ageng Tirtayasa. Ketika
itu, Sultan Ageng Tirtayasa berkeinginan memajukan negerinya baik dalam bidang
politik diplomasi maupun di bidang pelayaran dan perdagangan dengan
bangsa-bangsa lain (Tjandrasasmita, 1995:117).
Pada tahun 1671 sebelum mengirimkan
utusan ke Inggris, Sultan Ageng Tirtayasa mengirimkan putranya, Sultan Abdul
Kahar, ke Mekah untuk menemui Sultan Mekah sambil melaksanakan ibadah haji,
lalu melanjutkan perjalanan ke Turki. Karena kunjungannya ke Mekah dan
menunaikan ibadah haji, Abdul Kahar kemudian dikenal dengan sebutan Sultan
Haji.
Menurut naskah Sajarah Banten
diceritakan suatu ketika Sultan Banten berniat mengirimkan utusannya kepada
Sultan Mekah. Utusan itu dipimpin oleh Lebe Panji, Tisnajaya, dan Wangsaraja.
Perjalanan haji saat itu harus dilakukan dengan perahu layar, yang sangat
bergantung pada musim. Biasanya para musafir menumpang pada kapal dagang
sehingga terpaksa sering pindah kapal. Perjalanan itu membawa mereka melalui
berbagai pelabuhan di nusantara. Dari tanah Jawa terlebih dahulu harus menuju
Aceh atau serambi Mekah, pelabuhan terakhir di nusantara yang menuju Mekah. di
sana mereka menunggu kapal ke India untuk ke Hadramaut, Yaman, atau langsung ke
Jeddah. Perjalanan ini bisa makan waktu enam bulan atau lebih.
Di perjalanan, para musafir
berhadapan dengan bermacam-macam bahaya. Musafir yang sampai ke tanah Arab pun
belum aman. Pada masa awal perjalanan haji, tidak mengherankan apabila calon
jemaah dilepas kepergiannya dengan derai air mata; karena khawatir mereka tidak
akan kembali lagi.
Demikian beberapa catatan tentang
kaum muslimin Nusantara jaman dulu yang telah berhasil menunaikan ibadah haji.
Dari kisah-kisah tersebut nampaknya ibadah haji merupakan ibadah yang hanya
terjangkau kaum elit, yaitu kalangan istana atau keluarga kerajaan. Hal ini
menunjukkan pada jaman itu perjalanan untuk melaksanakan ibadah haji memerlukan
biaya yang sangat besar. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan adanya
masyarakat kalangan bawah yang juga telah berhasil menunaikan ibadah haji namun
tidak tercatat dalam sejarah. Gelar “Haji” memang pantas bagi mereka.
Pada Masa Pemerintahan Hindia
Belanda
Dahulu di zaman penjajahan belanda,
belanda sangat membatasi gerak-gerik umat muslim dalam berdakwah, segala
sesuatu yang berhubungan dengan penyebaran agama terlebih dahulu harus mendapat
ijin dari pihak pemerintah belanda. Mereka sangat khawatir apabila nanti timbul
rasa persaudaraan dan persatuan di kalangan rakyat pribumi, yang akan
menimbulkan pemberontakan, karena itulah segala jenis acara peribadatan sangat
dibatasi. Pembatasan ini juga diberlakukan terhadap ibadah haji.bahkan untuk
yang satu ini belanda sangat berhati-hati, karena pada saat itu mayoritas orang
yang pergi haji, ketika ia pulang ke tanah air maka dia akan melakukan
perubahan.
Contohnya adalah Muhammad Darwis
yang pergi haji dan ketika pulang mendirikan Muhammadiyah, Hasyim Asyari yang
pergi haji dan kemudian mendirikan Nadhlatul Ulama, Samanhudi yang pergi haji
dan kemudian mendirikan Sarekat Dagang Islam, Cokroaminoto yang juga berhaji
dan mendirikan Sarekat Islam. Hal-hal seperti inilah yang merisaukan pihak
Belanda. Maka salah satu upaya belanda untuk mengawasi dan memantau aktivitas
serta gerak-gerik ulama-ulama ini adalah dengan mengharuskan penambahan gelar
haji di depan nama orang yang telah menunaikan ibadah haji dan kembali ke tanah
air. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintahan Belanda Staatsblad tahun
1903.
Di Kepulauan Seribu, di P. Onrust
dan P. Khayangan, pemerintahan Hindia-Belanda mendirikan tempat karantina
jemaah haji. pulau-pulau tersebut dijadikan sebagai gerbang utama jalur lalu
lintas perhajian di Indonesia. Dengan alasan kamuflase “untuk menjaga
kesehatan”, kadang saat ditemukan adanya jemaah haji yang dinilai berbahaya
oleh pemerintah Hindia Belanda, diberi suntik mati dengan alasan beragam. Maka
tak jarang banyak yang tidak kembali ke kampung halaman karena di karantina di
pulau onrust dan cipir.
Untuk memudahkan pengawasan para
jemaah haji, pemerintah Hindia Belanda memberikan cap (gelar) baru kepada
mereka, yaitu “Haji”. Memang dari sejarahnya, mereka yang ditangkap,
diasingkan, dan dipenjarakan adalah mereka yang memiliki cap haji. Ironis..
itulah asal usul mengapa di negeri kita untuk mereka yang telah berhaji diberi
gelar “haji”…. Jadi bertanya-tanya, pantaskah diberi gelar haji setelah
mengetahui asal muasal gelar haji ini?
Gelar haji bagi orang muslim yang
pergi ke mekah untuk menunaikan ibadah naik haji ternyata hanya ada di
indonesia dan malaysia,dinegara” lain tidak ada gelar haji untuk kaum muslimin
yg telah melaksanakan ibadah haji tersebut, gelar haji ini pertama kali dibuat
oleh bangsa belanda yg wkt itu sedang menjajah indonesia, orang yang telah
berangkat haji ke me’kah dan kembali lagi ke indonesia oleh bangsa belanda di
tandai di depan namanya dengan huruf “H” yang berarti orang tersebut
telah naik haji ke mekah.
Pemberian gelar tersebut oleh bangsa
belanda bukan tanpa maksud, hal ini dikarenakan kebanyakan orang indonesia yg
menjadi penentang belanda pada waktu itu yg berani mengajak masyarakat untuk
melawan belanda adalah orang” yang baru pulang dari mekkah tersebut, oleh
karena itu belanda menandai orang” tersebut dengan huruf “H” di depan
namanya, untuk memudahkan mencari orang tersebut apabila terjadi pembrontakan,
Tetapi mengapa di zaman sekarang
seringkali gelar haji itu menjadi seperti kebanggaan dan pembanding orang yg
sudah mampu pergi haji dengan yang belum, bahkan ada beberapa orang yang
apabila tidak dipanggil pak haji atau bu haji mereka marah, harusnya orang yg
sudah pernah naik haji bisa merubah semua sifat buruk sewaktu ia belum naik
haji menjadi kebaikan, ITULAH YANG LEBIH UTAMA daripada mempermasalahkan gelar.
Disadur dari berbagai sumber dengan
mengadakan perbaikan seperlunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar