Warta Nusantara,
(Dari Wikipedia bahasa Indonesia,
ensiklopedia bebas)
Haji adalah gelar
homonim yang memiliki dua etimologi yang berbeda. Dalam budaya Islam Nusantara di Asia Tenggara, gelar haji umumnya
digunakan untuk orang yang sudah melaksanakan haji. Istilah ini berasal dari
bahasa Arab (حاج) yang merupakan bentuk isim fail (partisip aktif) dari kata
kerja 'hajj' (Arab: حج, 'pergi haji') atau dari kata benda 'hajj' (Arab: حج,
'ibadah haji') yang diberi sufiks nisbah menjadi 'hajjiy' (Arab: حجي).
Arti lainnya
adalah berasal dari kebudayaan Nusantara pra-Islam era Hindu-Buddha, yaitu Haji
atau Aji yang berarti "Raja".
Gelar dalam Islam
Sebuah lukisan yang menggambarkan seseorang yang telah
menunaikan ibadah haji dan mengenakan pakaian Arab,
di masa Hindia Belanda
digambar oleh Auguste van Pers,
pada tahun 1854.
Gelar haji umum
digunakan sebagai tambahan di depan nama dan sering disingkat dengan
"H". Dalam hal ini biasanya para Haji membubuhkan gelarnya dianggap
oleh mayoritas masyarakat sebagai tauladan maupun contoh di daerah mereka. Bisa
dikatakan sebagai guru atau panutan untuk memberikan contoh sikap
secara lahiriah dan batiniah dalam segi Islam
sehari-hari.
Gelar yang
aslinya bahasa Arab ini telah memiliki versi sesuai bahasa lokal masing-masing
negara. Dalam bahasa Farsi dan Pashto ditulis: حاجی, bahasa Yunani: Χατζής,
Albania: Haxhi, Bulgaria: Хаджия, Kurdi: Hecî,
Serbia/Bosnia/Kroasia: Хаџи atau Hadži, Turki: Hacı, Hausa: Alhaji
dan bahasa Romania: hagiu.
Di beberapa
negara, gelar haji dapat diwariskan turun-temurun sehingga menjadi nama
keluarga seperti Hadžiosmanović dalam bahasa Bosnia yang berarti 'Bani
Haji Usman' alias 'anak Haji Usman'. Di negara-negara Arab, gelar haji awam
digunakan sebagai penghormatan kepada orang yang lebih tua terlepas dari pernah
haji atau belum. Gelar haji juga digunakan di negara-negara kristen Balkan yang
pernah dijajah Imperium Usmani (Bulgaria, Serbia, Yunani, Montenegro, Makedonia
dan Romania) bagi orang kristen yang sudah pernah berziarah ke Yerusalem dan
Tanah Suci.
Dalam konteks
historis di Hindia Belanda, penggunaan gelar haji sering disematkan pada
seseorang yang telah pergi haji, dan sempat digunakan pemerintah Hindia Belanda untuk identifikasi para jemaah
haji yang mencoba memberontak sepulangnya dari Tanah Suci. Mereka dicurigai sebagai anti kolonialisme, dengan pakaian ala penduduk Arab
yang disebut oleh VOC sebagai “kostum Muhammad dan sorban”.
Dilatar
belakangi oleh gelombang propaganda anti VOC pada 1670-an
di Banten, ketika banyak orang meninggalkan pakaian
adat Jawa kemudian menggantinya dengan memakai pakaian
Arab, serta oleh pemberontakan Pangeran Diponegoro serta Imam Bonjol yang
terpengaruh pemikiran Wahabi sepulang haji, pemerintah Hinda Belanda akhirnya
menjalankan politik Islam, yaitu sebuah kebijakan dalam mengelola
masalah-masalah Islam di Nusantara pada masa itu. Ketentuan ini diatur
dalam Peraturan Pemerintahan Belanda Staatsblad tahun 1903. Maka sejak
tahun 1911, pemerintah Hindia Belanda mengkarantina
penduduk pribumi yang ingin pergi haji maupun setelah
pulang haji di Pulau Cipir dan Pulau Onrust, mereka mencatat dengan detail
nama-nama dan maupun asal wilayah jamaah Haji. Begitu terjadi pemberontakan di
wilayah tersebut, Pemerintah Hindia Belanda dengan mudah menemukan warga
pribumi, karena di depan nama mereka sudah tercantum gelar haji.
Kontroversi
Dalam
penggunaan gelar haji yang sering disematkan oleh mayoritas penduduk Asia Tenggara, sering mendapatkan kritikan dari
ulama salafy, yang dianggap sebagai perbuatan riya
dan tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad dan para as-sabiqun al-awwalun.
Ada ulama yang mengatakan bahwa tidak pernah ada riwayat yang menjelaskan
adanya gelar yang pernah disandang oleh rasulallah dan para sahabatnya, sebagai contoh H. Muhammad, H. Abu Bakar, H. Umar bin Khattab, H. Ali bin Abu Thalib
dan seterusnya.
Kemudian ulama
tersebut mengatakan bahwa di antara 5 rukun Islam hanya ibadah haji saja yang digunakan
sebagai gelar, dan mengapa ketika orang mengerjakan rukun Islam yang lain
seperti mengucap kalimat syahadat, salat,
zakat, puasa
tidak diberi gelar seperti halnya ibadah haji.
Gelar para raja
Dalam sejarah
Nusantara pra-Islam, Haji atau Aji juga merupakan gelar untuk
penguasa. Gelar ini dianggap setara dengan raja, akan tetapi posisinya di bawah
Maharaja. Gelar ini ditemukan dalam Bahasa Melayu Kuno,
Sunda, dan Jawa kuno, dan ditemukan dalam beberapa prasasti.
Sebagai contoh,
legenda Jawa Aji Saka menjelaskan mengenai asal mula peradaban
dan aksara di tanah Jawa. Nama Aji Saka bermakna "Raja Permulaan".
Kemudian pada tahun 1482 Raja Kerajaan Sunda Pajajaran Prabu Siliwangi, dalam Prasasti Batu Tulis
diberitakan bahwa Prabu Siliwangi saat dinobatkan menjadi penguasa Sunda-Galuh
bergelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang
Ratu Dewata. Pakuan adalah ibu kota Kerajaan Pajajaran.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar