Keterpurukan Profesi Wartawan
Dan Solusinya
Wartawan adalah
profesi seorang pewarta atau penulis berita yang sudah mendapat legalitas
secara hukum dan dilindungi, sehingga kalangan orang-orang penting dan pejabat
di era sebelum reformasi sangat menghargai profesi tersebut, sekalipun berada
dalam pasungan petinggi negara.
Namun
setelah bergulirnya reformasi, berawal pada bulan Mei 1998, dimana banyak
bermunculan organisasi yang mengatas-namakan kewartawanan karena pemasungan
terhadap wartawan sudah tidak ada lagi, lebih-lebih setelah lahirnya UU No. 40
tahun 1999 tentang Pers, organisasi kewartawanan bermunculan bak jamur di musim
hujan.
Dengan
berlatar belakang yang beragam, orang-orang yang sedikit mengerti tentang
istilah wartawan pun ikut berperan aktif dalam membentuk dan membangun
organisasi, sehingga tidak dapat lagi dilakukan pengontrolan oleh lembaga
terkait.
Yang
semula berwujud sebagai organisasi profesi dalam perjalanannya berubah fungsi
menjadi organisasi massa, dimana dengan berbagai cara dan gaya pengelola
organisasi berusahan mencari anggota sebanyak mungkin, sehingga timbullah
praktik menjual Kartu Tanda Anggota (kartu pers).
Dampak
dari apa yang terjadi di era reformasi yang kebablasan ini semakin terlihat
jelas, dimana orang-orang yang memiliki kartu pers banyak tidak menguasai cara
menulis berita dan tidak memahami tentang Kode Etik Jurnalistik.
Sehingga
tidak aneh lagi jika banyak terjadi dengan marasa gagahnya memiliki kartu
wartawan, seseorang sering blusukan datang ke lembaga-lembaga pemerintah dan
berusaha mencari kasus-kasus dengan tanpa disadari bahwa hal itu bukanlah tugas
seorang wartawan. Bahkan lebih jauh, mereka berani melakukan investigasi, yang
sebenarnya itu adalah tugas aparat hukum dalam menangani kasus.
Sesungguhnya,
tugas dan fungsi wartawan hanyalah sebatas pengawasan atau disebut juga
melakukan kontrol sosial, bukan mengontrol adminsitrasi suatu lembaga atau
instansi. Hal ini dapat terjadi karena tidak adanya pembinaan dari organisasi
terhadap anggotanya, bahkan tak jarang di jajaran pengurus organisasi
kewartawanan yang tidak memahami dan tidak mengerti tentang kewartawanan.
Untuk
itu, setiap organisasi kewartawanan harus memiliki standar pendidikan dan
mengadakan pelatihan terhadap anggotanya. Hal itu dilakukan, agar benar-benar
dapat terbentuk organisasi profesi yang layak dan mengerti akan tugas dan
kewajibannya sebagai seorang profesinal.
Jangan
Biarkan Terus Terpuruk.
Dalam
menyikapi dan menindak-lanjuti keterpurukan dan keberadaan profesi kewartawanan
yang semakin tidak jelas, perlu diambil langkah-langkah demi pemahaman dan
penguasaan akan tugas-tugas sebagai seorang wartawan, yaitu melalui
diwajibkannya bagi setiap wartawan untuk mengikuti pelatihan dan pendidikan
jurnalistik, sehingga memenuhi standarisasi sebagai seorang wartawan atau
jurnalis.
Untuk
lebih memahaminya dapat dipelajari tentang ketentuan Kode Etik Jurnalistik dan
dasar ketentuannya ada dalam UU Nomor 40 tentang Pers. Semua itu dapat dicari
dan diambil dari media internet, dalam website Dewan Pers atau organisasi
kewartawanan yang ada.
Dalam
kesempatan ini, saya mencoba berbagi pengetahuan tentang tatacara dan
tatalaksana seorang wartawan dalam membuat dan menyajikan berita sesuai dengan
standarisasi yang selama ini digunakan oleh para wartawan senior dan
profesional.
Cara
Penulisan Secara Umum
“Seorang
penulis (apalagi profesional) haruslah setidak-tidaknya mengetahui dasar-dasar
ilmu jurnalistik, memiliki keterampilan menulis, baik berupa berita maupun
reportase dan jenis tulisan lainnya”, demikian dikatakan James Reston, seorang
wartawan terkemuka dari surat kabar New York Time.
Untuk
itu ada hal-hal yang patut diperhatikan berupa ketentuan atau persyaratan yang
tidak tertulis, tetapi harus diperhatikan oleh seorang penulis (wartawan)
bilamana tulisannya ingin mencapai sasaran dan tidak ngambang.
Sebagai
dasar penulisan yang baik diantaranya :
1.Obyektif
2.Berdasarkan fakta yang lengkap
3.Memiliki sumber yang akurat
4.Memperoleh narasumber yang sesuai dengan keahlian
5.Tidak sepihak (netral)
6.Masalah (persoalan) jelas
7.Relevant (tepat sasaran)
8. Cermat dan teliti dalam menentukan judul
9. Ruang lingkup jelas
10. Memberikan jalan keluar (solusi) dari permasalahan
11. Harus memiliki nalar khalayak (sense of audience) yang tepat agar mengetahui secara pasti tingkatan masyarakat mana yang menjadi sasaran berita.
12. Harus memahami perundang-undangan yang berkaitan erat dengan tulisan (materi berita)
13. Tulisan dinilai sebagai partisipasi kontrol sosial
14. Mematuhi permintaan (off the record) dan sumber tulisan sesuai dengan KEJ
15. Menghindarkan tulisan yang bersifat SARA (pertentangan antar suku, agama, Ras, dan golongan)
16. Tidak menjurus kepada perusakan sendi-sendi Ketahanan Nasional, yang paling penting untuk diperhatikan adalah waktu penyajiannya tepat.
2.Berdasarkan fakta yang lengkap
3.Memiliki sumber yang akurat
4.Memperoleh narasumber yang sesuai dengan keahlian
5.Tidak sepihak (netral)
6.Masalah (persoalan) jelas
7.Relevant (tepat sasaran)
8. Cermat dan teliti dalam menentukan judul
9. Ruang lingkup jelas
10. Memberikan jalan keluar (solusi) dari permasalahan
11. Harus memiliki nalar khalayak (sense of audience) yang tepat agar mengetahui secara pasti tingkatan masyarakat mana yang menjadi sasaran berita.
12. Harus memahami perundang-undangan yang berkaitan erat dengan tulisan (materi berita)
13. Tulisan dinilai sebagai partisipasi kontrol sosial
14. Mematuhi permintaan (off the record) dan sumber tulisan sesuai dengan KEJ
15. Menghindarkan tulisan yang bersifat SARA (pertentangan antar suku, agama, Ras, dan golongan)
16. Tidak menjurus kepada perusakan sendi-sendi Ketahanan Nasional, yang paling penting untuk diperhatikan adalah waktu penyajiannya tepat.
Setelah
kita ketahui sejumlah ketentuan dan syarat yang harus diperhatikan dan
dipatuhi, harus diperhatikan juga hal-hal yang sangat prinsip. Bagaimana
memulai menulis, apa rahasia dan apa kuncinya, serta bagaimana tekniknya.
Tentang
bagaimana tekniknya, sudah menjadi ketentuan bagi wartawan dalam tugasnya yakni
berpegang pada yang dikenal dengan istilah 5 W + 1 H. Ini berlaku bagi
pembuatan berita maupun tulisan jenis lainnya, walaupun tidak semua unsur dari
5W +1H itu termuat lengkap. Karena setidaknya 5W + 1H tersebut setiap
jawabannya merupakan materi-materi penulisan yang dapat menuntun penulis
mencapai maksudnya.
Hal
inilah yang harus dijadikan pedoman dasar untuk bangkit dari keterpurukan
profesi wartawan saat ini. Agar tidak lagi ada wartawan yang melakukan
investigasi tetapi cukup dengan konfirmasi, tidak ada lagi wartawan yang
menvonis seseorang bersalah harus ada pembatasan dengan diduga, karena pola
praduga tak bersalah diterapkan bagi setia seseorang yang diduga atau
dipersalahkan.
Tulisan
ini hanya sekedar panduan, yang mungkin dapat berguna khususnya pada kalangan
wartawan (jurnalis) atau penulis lainnya. Sangat dianjurkan untuk lebih dapat
mendalami lebih jauh tentang teknik-teknik penulisan. Sebab, dipandang cukup
banyak jenis berita atau jenis tulisan yang harus dipahami. (Arwan Zaini/ Pendiri Komite Wartawan Reformasi Indonesia (KWRI) dan Komunitas Media Indonesia (Komed Indonesia))

Tidak ada komentar:
Posting Komentar